Di Inggris, pembukaan kembali sekolah secara bertahap dimulai pada 1 Juni. Namun, sebuah survei pada para orang tua menunjukkan bahwa separuh dari mereka tidak yakin bahwa anak-anak mereka aman untuk kembali bersekolah di tengah pandemi COVID-19 yang masih berlangsung.
Untungnya ada semakin banyak bukti yang dapat kita pertimbangkan. Mengingat kekhawatiran makin meluas, kami telah meninjau beberapa risiko yang mungkin terjadi karena COVID-19 jika anak-anak kembali bersekolah, dan menjawab pertanyaan-pertanyaan penting tentang hal ini.
Apakah anak-anak lebih kecil kemungkinannya terinfeksi virus corona?
Untuk menjawab pertanyaan ini, kita dapat mengacu kepada dua sumber informasi penting. Informasi pertama dapat dilihat dari data yang diambil dari hasil pengetesan skala besar di tingkat komunitas.
Di Islandia, sejak awal pandemi ini merebak, 6% dari populasinya (22.279 orang) telah mengikuti pengetesan virus corona. Kelompok-kelompok yang dijadikan sebagai target utama pengetesan ini ialah orang-orang yang memiliki gejala coronavirus, dan orang-orang yang berasal dari daerah berisiko tinggi atau mereka yang pernah melakukan kontak langsung dengan pasien COVID-19.
Berdasarkan hasil tes pada kelompok ini, 6,7% anak berumur kurang dari 10 tahun dites positif, dibandingkan dengan 13,7% orang berusia 10 atau lebih. Di sisi lain, hasil dari skrining yang pengambilan sampelnya dilakukan secara acak, menyatakan bahwa semua anak di bawah 10 tahun negatif virus corona, dan 0,8% orang berusia 10 tahun atau lebih, dinyatakan positif.
Contoh lainnya dapat dilihat di Vo, salah satu kota di bagian utara Italia. Di sana, 86% penduduknya langsung melakukan tes virus corona (2.812 orang) setelah seorang penduduk meninggal akibat virus corona.
Berdasarkan tes ini, semua anak-anak berusia 10 tahun atau di bawahnya, sebanyak 217 orang, dinyatakan negatif. Sedangkan 1,2% dari 250 remaja (11-20 tahun) dinyatakan positif; dan 3% dari orang berusia 21 tahun atau lebih tua dinyatakan positif.
Sumber bermanfaat lainnya adalah data detail pelacakan jejak dan kontak kasus berdasarkan pada informasi demografis. Sebuah penelitian dari Cina menganalisis apakah 105 pasien COVID-19 telah menyebarkan virus kepada 392 orang lainnya yang tinggal satu rumah dengan mereka. Penelitian ini menemukan bahwa kemungkinan untuk seorang anak tertular dari pasien positif yang tinggal satu rumah dengan mereka hanya 4%. Angka ini jauh lebih rendah jika dibandingkan dengan orang dewasa yang memiliki kemungkinan tertular sebesar 17,1%.
Data penelusuran kontak dari Provinsi Hunan pada Februari juga mengungkapkan hal yang serupa: 6,2% dari anak-anak (0-14 tahun) yang pernah melakukan kontak langsung dengan pasien positif tertular virus, sedangkan 10,4% orang dewasa tertular dari pasien positif karena kontak dekat.
Maka dari itu, bukti-bukti di atas telah menunjukkan bahwa jika dibandingkan dengan orang dewasa, anak-anak tidak terlalu rentan akan terinfeksi virus ini.
Apakah anak akan jatuh sakit ketika terinfeksi?
Secara umum bayi lebih rentan terinfeksi dan jatuh sakit.
Namun, untuk COVID-19, beberapa bukti menyatakan hal sebaliknya. Data dari Public Health England hingga 22 Mei hanya mencatat 1,6% kasus COVID-19 pada anak berusia 0-19 tahun meski mereka merupakan 23,4% dari populasi.
Hasil dari data ini tentu saja dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya adalah strategi pengetesan. Contoh, mungkin saja jika bayi-bayi tidak mengikuti tes di tingkat komunitas/masyarakat sementara pengetesan yang dilakukan oleh rumah sakit cenderung lebih memprioritaskan pasien yang mengalami gejala yang lebih parah, yang biasanya adalah orang dewasa. Namun, laporan-laporan dari berbagai negara memang secara konsisten menunjukkan bahwa angka kasus COVID-19 pada anak memang rendah, dan biasanya gejala dan penyakitnya lebih ringan dibanding dengan orang dewasa.
Data dari Cina dan Inggris, dan sebuah ulasan dari berbagai riset yang diterbitkan sampai 1 Mei, menunjukkan bahwa penyakit virus ini pada anak terjangkit tidak menunjukkan gejala apa pun, 88-97% kasus COVID-19 pada anak termasuk ke dalam kategori ringan dan sedang. Hanya sekitar 0,6-2% anak-anak yang dirawat di perawatan intensif dan hanya terdapat 0-0,18% kasus yang dikaitkan dengan dampak yang fatal.
Angka ini dapat dibandingkan data tingkat fatalitas penyakit ini di Cina dan Italia. Tingkat fatalitas penyakit ini pada mereka yang berusia 60-an yang berada di angka 3,5-3,6%; 8-12,8% pada usia 70-an; dan 14,8-20,2% pada usia 80 atau lebih. Namun, jawaban untuk pertanyaan tentang mengapa anak-anak tidak mudah terjangkit masih belum jelas hingga saat ini, meski berbagai hipotesis telah diajukan.
Namun, baru-baru ini sebuah sindrom baru yang ditemukan pada anak-anak telah menarik banyak perhatian. Sindrom ini disebut sebagai sindrom multisistem inflamasi pediatri (PIMS-TS) dan sementara ini dikaitkan dengan infeksi SARS-CoV-2. Kasus ini masih dianggap langka, karena hingga saat ini Eropa hanya mencatat 230 kasus yang diduga sebagai PIMS-TS, dengan dua kasus yang fatal. Saat ini, British Paediatric Surveillance Unit sedang melakukan sebuah penelitian lebih lanjut mengenai sindrom ini.
Apakah anak-anak dapat menyebarkan virus corona kepada orang lain?
Cukup sulit untuk mengukur sejauh mana anak-anak berkontribusi dalam penularan virus corona. Namun, beberapa bukti tidak langsung telah menyatakan bahwa anak-anak tidak berkontribusi banyak dalam menyebarkan virus corona. Pada umumnya, untuk penyakit flu musiman, anak-anak dapat menjadi “super-spreaders”, namun, hal ini tidak berlaku pada COVID-19.
Sebuah analisis mengenai 31 kluster transmisi rumah tangga menemukan bahwa hanya tiga kluster yang kasus pertamanya berawal dari seorang anak. Selain itu, sebuah tinjauan sistematis yang membahas tentang anak-anak dan penularan virus corona telah menemukan bahwa, walau anak-anak dapat menyebarkan virus ini layaknya orang lain, tampaknya, jauh lebih kecil kemungkinan bagi anak-anak untuk menyebar virus ini.
Di Belanda, dalam penelusuran di lebih dari 700 kontak dari pasien dengan COVID-19, menunjukkan bahwa tingkatan infeksi virus ini berbeda-beda, tergantung pada usia pasien. Pada pasien berusia 18 tahun ke bawah, tidak ada kontak yang dites positif. Namun, pada pasien berusia 19 tahun atau lebih, 9% dari kontak mereka dinyatakan positif.
Apakah aman jika sekolah dibuka kembali?
Denmark merupakan negara pertama di Eropa yang membuka sekolah kembali, yang kemudian diikuti oleh negara lainnya seperti Norwegia, Jerman, Prancis, dan Belanda.
Di Denmark, sejak sekolah dibuka kembali, angka reproduksi virus mengalami kenaikan dari 0,6 menjadi 1,0, namun, angka ini lalu mengalami penurunan dalam kurun waktu satu minggu. Di Swedia, hingga 12 Mei, tidak ada laporan penyebaran wabah virus corona di sekolah, padahal negara ini tidak melakukan penutupan sekolah selama pandemi ini berlangsung.
Seperti di Swedia dan di New South Wales, Australia sekolah juga tetap buka. Sebuah analisis terhadap 18 kasus yang terjadi di 15 sekolah menunjukkan bahwa dari 735 orang anak yang melakukan kontak dekat dengan pasien positif, hanya dua orang (0,3%) yang tertular. Tidak ada satu pun dari 128 staf sekolah yang ikut terinfeksi setelah melakukan kontak dekat dengan kedua anak tersebut.
Bukti-bukti yang tersedia hingga saat ini menunjukkan bahwa risiko virus corona jika anak-anak kembali bersekolah masih kecil. Potensi penularan virus corona di sekolah dapat dikurangi dengan langkah-langkah pengendalian infeksi yang memadai.
Murid-murid harus tetap sebisa mungkin meminimalkan kontak fisik dengan staf sekolah dan tetap sering mencuci tangan. Pengujian serta isolasi cepat terhadap murid yang menunjukkan gejala COVID-19 pun harus segera dilakukan. Langkah-langkah lainnya seperti mengelompokkan anak-anak ke dalam beberapa kelompok (“social bubble”) dan mengingatkan waktu untuk kegiatan di luar kelas juga dapat dipertimbangkan jika sekolah akan kembali dibuka.
Sekolah memiliki peran yang penting dalam menentukan kesejahteraan anak-anak, karena sekolah bukan hanya tempat untuk belajar, tapi juga untuk bersosialisasi dan berolahraga. Bagi beberapa anak sekolah juga menjadi tempat mereka merasa aman. Beberapa sekolah telah mempraktikkan sistem online learning, namun sistem ini tidaklah universal, karena tidak semua anak dapat mengaksesnya. Bagi anak-anak yang kurang beruntung, mereka akan tertinggal dan semakin kehilangan pendidikan penting karena adanya penutupan sekolah-sekolah.
Maka dari itu, kami dapat menyimpulkan, sama dengan apa yang baru-baru ini juga dilakukan oleh pakar lainnya, bahwa proses pembukaan kembali sekolah dapat mulai dilakukan secara bertahap, asalkan tetap diikuti oleh berbagai langkah pencegahan penyebaran virus corona. Tes yang memadai dan efektif serta strategi dalam melacak dan mengisolasi murid-murid dengan gejala virus corona juga disarankan jika sekolah akan dibuka kembali.
sumber : theconversation.com