Pembatasan sosial akibat pandemi COVID-19 diproyeksi dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi akibat terhambatnya aktivitas kerja dan produksi ekonomi.
Untuk Indonesia – sebuah negara berkembang dengan jumlah penduduk terbesar kedua di Asia Timur dan Pasifik – harga yang harus ditanggung masyarakat bisa jadi sangat besar.
Pandemi ini berpotensi untuk meningkatkan angka kemiskinan yang beberapa dekade telah mengalami penurunan. Pada tahun 2018 kemarin, untuk pertama kalinya angka kemiskinan menyentuh satu digit (9,82%) dalam sejarah Indonesia.
Tim kami di Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) melakukan simulasi menggunakan data survei rumah tangga untuk memahami bagaimana pandemi ini – beserta berbagai program bantuan sosial yang disiapkan pemerintah – berdampak pada kemiskinan di Indonesia.
Model kami menunjukkan bahwa apabila pertumbuhan ekonomi turun menjadi nol persen, angka kemiskinan akan meningkat jadi 10.54% atau menyeret setidaknya 3,63 juta penduduk ke dalam kemiskinan. Angka tersebut akan menambah 24,79 juta orang miskin yang tercatat pada September 2019.
Hasil simulasi kami
Perhitungan di atas berdasarkan skenario terburuk, yakni apabila pertumbuhan GDP Indonesia turun menjadi 0%.
Simulasi kami menghasilkan total 10 skenario yang di dasarkan dari dua pertanyaan.
Pertama, apakah Indonesia mampu mempertahankan target pertumbuhan ekonominya (PDB)?. Perhitungan kami berdasarkan dua asumsi yaitu ketika target pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 2.3%, dan jika pertumbuhan hanya 0%.
Kedua, seberapa akurat pemerintah mampu mengeksekusi ketiga program bantuan sosialnya yang baru saja diperluas akibat COVID-19. Program sosial tersebut berupa bantuan tunai bersyarat melalui Program Keluarga Harapan, program Kartu Sembako, dan juga Bantuan Sosial Tunai.
Dalam skenario yang optimis, di mana pemerintah dapat mempertahankan target pertumbuhan 2,3% dan didukung oleh kebijakan yang “tepat”, kenaikan angka kemiskinan dapat ditekan menjadi 9,24% saja.
Angka tersebut hanya sedikit meningkat dibanding angka pada bulan September 2019 yang mencapai 9,22%.
Meskipun demikian, angka 9,24% tersebut dapat tercapai jika program Bantuan Sosial Tunai (BST) bisa mencapai sasarannya dengan tepat.
Ini artinya, BST harus menutup “inclusion error”, yaitu harus mencapai semua orang yang berhak yang sebelumnya tidak mendapatkan bantuan dari Program Keluarga Harapan atau Kartu Sembako.
Saat ini, baru masing-masing 42,6% dan 44% peserta Program Keluarga Harapan dan Kartu Sembako yang tepat sasaran.
Untuk perhitungannya sendiri, garis kemiskinan yang digunakan bervariasi menurut provinsi, desa dan kota – bukan garis kemiskinan nasional yang ditetapkan sebesar Rp 425.250 per bulan per orang.
Kami menggunakan setidaknya empat variabel yang diduga mempengaruhi level konsumsi akibat adanya COVID-19:
- tingkat konsumsi saat ini, sebagai representasi untuk pendapatan
- laju pertumbuhan ekonomi berdasarkan sektor (pertanian, jasa, atau manufaktur), berdasarkan data internal BAPPENAS
- status pekerjaan berdasarkan proyeksi potensi pemecatan, berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan
- akurasi penerimaan bantuan sosial dari pemerintah seperti Program Keluarga Harapan, Kartu Sembako dan Bantuan Sosial Tunai.
Keempat variabel ini akan menentukan level konsumsi seorang individu di akhir 2020. Apabila level konsumsi seseorang berada di bawah garis yang ditetapkan, maka orang tersebut masuk ke dalam kategori miskin.
Tingkat akurasi dari simulasi ini
Seluruh proyeksi ekonomi yang ada saat ini terkait pandemi COVID19 memiliki margin of error (batas kesalahan) yang cukup luas; sulit untuk bisa yakin terkait besarnya dampak dari pandemi yang sedang berlangsung.
Apabila pertumbuhan GDP mendekati angka dua digit yang negatif sebagaimana yang terjadi pada krisis keuangan 1998, misalnya, pengaruhnya terhadap kemiskinan bisa jadi jauh lebih besar dari yang dihasilkan oleh model ini.
Yang jelas, terlepas dari realita intervensi pemerintah maupun pertumbuhan ekonomi yang nanti akan terjadi, kemiskinan akan tetap meningkat untuk pertama kalinya secara bersamaan di dunia negara berkembang.
Hal ini termasuk Indonesia, setidaknya untuk jangka pendek.
Dampaknya terhadap upaya penurunan kemiskinan
Pemerintah telah membuka secara luas diskusi mengenai dampak pandemi terhadap kemiskinan dan bahkan juga telah menyiapkan skenario pertumbuhan ekonomi nol persen.
Berbagai pelajaran dari kebijakan di masa lalu juga telah membuat kita lebih siap dalam perencanaan program penuntasan kemiskinan.
Namun, sukses atau tidaknya penekanan kenaikan kemiskinan akan tergantung pada kapasitas pemerintah daerah untuk secara efisien mengelola bantuan finansial dan program sosial, serta senantiasa memperbarui data orang miskin.
Bahkan untuk proyeksi BAPPENAS pada skenario pertumbuhan non-negatif untuk bisa terwujud, pemerintah daerah harus lebih proaktif dalam tiga hal.
Pertama, rantai pasok lokal harus dijaga untuk mencegah kelangkaan pangan dan inflasi harga pangan.
Kedua, mengidentifikasi dan menyasar orang miskin baru yang muncul akibat pandemi, serta membantu mereka yang terdampak di sektor informal.
Ketiga, setelah berbulan-bulan menghadapi pembatasan aktivitas ekonomi dan terpaksa hidup dari bantuan sosial, program-program pemberdayaan ekonomi bagi mereka di sektor informal menjadi penting untuk membantu mereka kembali bekerja ketika ekonomi kembali bergerak.