Banyak perubahan yang terjadi setelah Soeharto jatuh pada Mei 1998 dan era Reformasi dimulai: sebagian positif, sebagian negatif.
Menurut beberapa laporan, kebebasan beragama di era Reformasi lebih buruk dari era Soeharto.
Tapi apa benar demikian? Riset saya yang baru-baru ini dipublikasikan di Bulletin of Indonesian Economic Studies mencoba menjawab hal ini.
Ada dua pertanyaan utama dalam riset itu. Pertama, bagaimana kebebasan beragama Indonesia dibandingkan negara mayoritas Muslim lain? Kedua, bagaimana kebebasan beragama Indonesia sekarang dibandingkan era Soeharto?
Analisis yang saya lakukan menemukan bahwa tingkat diskriminasi oleh negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia adalah salah satu yang tertinggi di dunia Islam.
Analisis saya juga menunjukkan bahwa kejatuhan Soeharto memperburuk legislasi agama, yaitu pembentukan produk hukum yang mengatur kehidupan beragama, dan memperparah diskriminasi sosial terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas. Sementara, berakhirnya kekuasaan Soeharto tidak berdampak pada diskriminasi yang dilakukan negara terhadap pemeluk agama dan kepercayaan minoritas.
Analisis yang dilakukan
Dalam riset, saya menggunakan data dari Religion and State (RAS) Project Round 3 yang dilakukan oleh Jonathan Fox, profesor agama dan politik di Bar-Ilan University, Israel.
Data ini bisa diunduh secara bebas di thearda.com/ras. Analisis saya mencakup 183 negara dari tahun 1990 sampai 2014.
Ada banyak indikator kebebasan beragama di data ini. Saya fokus pada tiga indikator: diskriminasi negara (state discrimination), legislasi agama (religious legislation), dan diskriminasi sosial (societal discrimination).
Diskriminasi negara terwujud dalam peraturan legal formal yang mendiskriminasi agama minoritas. Indikator yang digunakan antara lain ada tidaknya peraturan pemerintah yang melarang kegiatan ibadah agama minoritas, atau ada tidaknya peraturan pemerintah yang melarang pendirian rumah ibadah minoritas. Total ada 36 indikator diskriminasi negara yang saya analisis.
Legislasi agama mengacu pada produk hukum yang tidak secara spesifik menyasar agama minoritas, tapi tetap bertujuan mengatur moral dan kehidupan beragama. Contoh indikator tentang legislasi agama adalah ada tidaknya aturan tentang penodaan agama, ada tidak aturan tentang pakaian perempuan, atau ada tidaknya aturan tentang homoseksualitas. Total ada 52 indikator untuk legislasi agama yang saya analisis.
Terakhir, diskriminasi sosial mengukur bagaimana masyarakat itu sendiri mendiskriminasi agama minoritas. Fokus indikator ini adalah pada pembatasan yang dilakukan oleh masyarakat, bukan negara atau aparat pemerintah.
Contoh indikator ini misalnya ada tidaknya perusakan tempat ibadah oleh organisasi kemasyarakatan (ormas) atau ada tidaknya pelarangan ibadah oleh ormas. Total ada 27 indikator diskriminasi sosial yang saya analisis.
Indonesia dibandingkan negara muslim lain
Pada tiga grafik berikut, saya menampilkan hasil analisis. Pada setiap grafik, sumbu horizontal x menampilkan tahun dan sumbu vertikal y menampilkan nilai atau skor di masing-masing dimensi yang disebutkan di atas.
Di tiap grafik, garis tebal tidak putus-putus menunjukkan angka Indonesia, garis tebal putus-putus menunjukkan angka rata-rata negara Muslim, dan setiap garis tipis mewakili satu negara Muslim.
Dari tiga grafik ini terlihat jelas tingkat diskriminasi negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia lebih tinggi dibanding banyak negara Muslim.
Di dunia Islam, kita salah satu yang paling membatasi kelompok agama minoritas.
Mengingat betapa sering elit dan masyarakat kita mengaku toleran, barangkali sudah saatnya kita berhenti mengaku toleran dan mulai belajar untuk benar-benar bersikap toleran.
Era Reformasi vs Orde Baru
Apakah kebebasan beragama sekarang lebih buruk dibanding era Soeharto? Apakah reformasi memperburuk kebebasan beragama?
Untuk menjawab pertanyaan ini saya menggunakan teknik Synthetic Control Method. Metode ini membandingkan Indonesia sekarang dengan “Indonesia” sintetik atau imajiner yang masih diperintah Soeharto.
Indonesia sintetik ini dibuat dengan menggabungkan negara-negara lain berdasarkan kriteria tertentu seperti Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita, persentase populasi urban, tingkat keragaman agama, dan tingkat demokrasi.
Saya membandingkan Indonesia aktual atau Indonesia yang sebenarnya dengan Indonesia sintetik (Indonesia yang tidak mengalami kejatuhan Soeharto). Perbedaan antara keduanya ada pada perkiraan efek kejatuhan Soeharto terhadap kebebasan beragama.
Terkait diskriminasi negara, tidak ada beda antara Indonesia aktual dengan Indonesia sintetik. Kebebasan beragama di Indonesia sekarang tidak berbeda dengan situasi jika Soeharto masih berkuasa.
Prioritas advokasi
Ada dua kesimpulan dari analisis ini.
Pertama, tingkat diskriminasi negara, legislasi agama, dan diskriminasi sosial Indonesia ternyata salah satu yang tertinggi di dunia Islam.
Ini pekerjaan rumah bagi pemerintah dan semua pihak. Bila tidak dibenahi, keadaan ini hanya akan memburuk.
Kedua, kejatuhan Soeharto memperburuk legislasi agama dan diskriminasi sosial, tapi tidak memiliki efek terhadap diskriminasi negara.
Banyak kemungkinan kenapa legislasi agama dan diskriminasi sosial memburuk sementara diskriminasi negara tidak banyak berubah. Salah satunya adalah kehadiran ormas radikal.
Ormas radikal memperburuk tingkat diskriminasi sosial lewat aksi-aksi persekusi mereka. Ormas-ormas ini juga mempengaruhi kebijakan publik lewat kemampuan mereka memberikan tekanan kepada partai dan politisi.
Ormas, dengan massa mereka yang tidak sedikit, dapat menjanjikan pasokan suara dalam pemilihan umum kepada politikus yang mendengar aspirasi mereka.
Di saat yang sama, mereka juga dapat memberikan ancaman elektoral kepada politisi yang mengabaikan keinginan mereka atau malah terang-terangan berseberangan dengan mereka.
Dari kesimpulan ini, kita bisa mengetahui apa yang harus diprioritaskan dalam advokasi kebebasan beragama di Indonesia.
Advokasi kita perlu fokus kepada legislasi agama dan diskriminasi sosial; fokus kepada bagaimana ormas radikal dan konservatif mempersekusi agama minoritas dan memanfaatkan massa untuk mempengaruhi pembuatan kebijakan intoleran.
Studi ini juga menunjukkan kegunaan pengkodean yang sistematis dalam penelitian kebebasan beragama. Misalnya, peneliti Indonesia bisa menggunakan pengkodean RAS Project untuk mengukur dan membandingkan kebebasan beragama di provinsi-provinsi di Indonesia.
Provinsi mana yang paling restriktif dan provinsi mana yang intoleran? Informasi demikian pada akhirnya akan membantu kita membuat skala prioritas dalam advokasi kebebasan beragama.
Sumber : https://theconversation.com/