Beberapa hari terakhir, publik sibuk dengan perbedaan antara “mudik” dan “pulang kampung” menyusul penjelasan Presiden Joko “Jokowi” Widodo seputar kebijakan penanganan wabah COVID-19.
Dalam sebuah wawancara TV yang tayang 22 April, Jokowi mengatakan bahwa pulang kampung adalah ketika perantau yang berada di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek) kembali ke daerah asal; sedangkan mudik “itu di hari Lebarannya, untuk merayakan Idul Fitri”.
Kemudian, Kepala Pusat Data Informasi (Kapusdatin) dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Agus Wibowo, menjelaskan bahwa “mudik” adalah pulang kampung sementara, sedangkan “pulang kampung” berarti mereka yang memutuskan kembali ke daerah, tidak akan kembali lagi ke kota.
Pemilihan kata “mudik” dan “pulang kampung” sebagai label untuk identifikasi perilaku kembali ke daerah ini membingungkan masyarakat.
Kami melakukan survei pada 14-19 April 2020 dengan mewawancarai 405 responden yang berdasarkan data panel kami di Jabodetabek. Data panel adalah daftar nama, identitas,dan kontak responden yang sebelumnya didapatkan dari survei lain yang telah kami lakukan.
Survei menunjukkan bahwa masyarakat tetap memiliki keinginan kuat untuk mudik dan pulang kampung di tengah pandemi, terutama menjelang Lebaran.
Permainan semantik yang dilakukan pemerintah pada dasarnya justru bertentangan dengan upaya pembatasan yang dilakukan dan berpotensi memperburuk penyebaran wabah.
Faktor ekonomi vs budaya
Dari seluruh partisipan yang kami survei di Jabodetabek, setengahnya (49,4%) merupakan pendatang atau bukan orang asli daerah setempat–dengan kata lain “perantau”.
Faktor ekonomi mendorong para mereka untuk melakukan urbanisasi ke Jabodetabek.
Mereka ini potensial untuk menjadi pelaku mudik atau pulang kampung.
Sosiolog Umar Kayam menjelaskan bahwa tradisi mudik terkait dengan kebiasaan petani Jawa mengunjungi tanah kelahiran untuk berziarah ke makam para leluhur. Mudik adalah peninggalan tradisi dalam visi modern masyarakat perantau urban.
Pada tahun 2019 setidaknya terdapat 14,9 juta pemudik dari Jabodetabek yang kembali ke daerahnya pada masa libur Lebaran.
Dari survei kami, 29% perantau berencana untuk mudik pada hari Raya Idul Fitri; 29,5% menyatakan ragu-ragu; dan sisanya 41,5% menyatakan tidak akan mudik.
Ini berarti setidaknya 58,5% perantau potensial menjadi pemudik pada hari raya.
Kita dapat melihat bahwa faktor kultural memainkan peran yang lebih kuat pada niatan masyarakat untuk kembali ke kampung halaman dibandingkan dengan faktor ekonomi.
Niat menunaikan tradisi mudik pada hari raya masih melekat walaupun wabah sedang mendera.
Survei kami juga menunjukkan hanya 4,5% dari perantau akan pulang kampung apabila kondisi keuangan mereka memburuk. Mayoritas cenderung optimis dapat bertahan dalam hal ekonomi.
Di kemudian hari, sangat mungkin mereka berubah sikap terutama ketika situasi ekonomi menjadi semakin memburuk
Beda makna bagi pemerintah
Kamus Besar Bahasa Indonesia tidak membedakan arti antara “mudik” dan “pulang kampung”. Masyarakat umum dan media juga terbiasa mempertukarkan kedua terminologi tersebut.
Menurut BNPB, pembedaan “mudik” dan “pulang kampung” pada dasarnya adalah upaya pemerintah untuk membedakan durasi dan tujuan bagi mereka yang akan kembali ke kampung: sementara dan permanen.
Mereka yang merupakan pekerja migran dan yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja diperbolehkan untuk secara permanen kembali ke kampung.
Tapi, mereka yang ingin pergi ke kampung untuk berlibur dalam waktu pendek, terutama pada masa Lebaran nanti, tidak diperbolehkan.
Dalam definisi pemerintah, “pulang kampung” adalah pergerakan akibat faktor ekonomi, sedangkan “mudik” adalah perilaku budaya.
Pemerintah memang memiliki kontrol terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS), Aparat Sipil Negara (ASN) dan pegawai badan usaha milik negara/daerah. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi telah melarang mereka bepergian ke luar daerah atau mudik, dan mengancam dengan sanksi disiplin.
Namun, bagaimana dengan warga lain yang masih memiliki pekerjaan dan secara ekonomi masih sanggup bertahan di Jabodetabek tapi memiliki niat untuk mudik pada Idul Fitri nanti? Himbauan tentu tidak akan cukup untuk memastikan mereka diam di kota.
Pemerintah memang telah menyusun protokol “pulang kampung”: mengisi formulir keterangan dan tujuan kepulangan, memiliki rekomendasi dari Gugus Tugas Daerah dan izin kepala desa, mematuhi syarat tidak kembali ke kota, menjalani pemeriksaan kesehatan, dan menjalani isolasi mandiri.
Pemerintah memang melakukan penjagaan di perbatasan daerah, namun mengingat jumlah orang “mudik” yang potensial mencapai angka belasan juta seperti yang menjadi tradisi, sulit menjamin ini akan efektif.
Namun, pemerintah justru masih memperbolehkan sebagian warga untuk “pulang kampung”. Kita bisa bayangkan ada banyak orang yang ingin mudik, tetapi kemudian mengaku “pulang kampung”.
Belum ada jaminan mekanisme kontrol yang kuat dari pemerintah untuk melakukan filter terhadap mereka yang mudik dan mereka yang pulang kampung.
Tidak mengurangi risiko
Permainan semantik dengan memisahkan “mudik” dan “pulang kampung” pada dasarnya memberikan celah yang besar bagi pergerakan masyarakat secara besar.
Padahal, “mudik” maupun “pulang kampung” itu sama; sama-sama meningkatkan risiko penyebaran wabah karena pergerakan penduduk dari zona merah ke daerah-daerah lain di Indonesia.
Beberapa kasus yang terjadi di daerah, seperti tiga kasus positif COVID-19 di Sumatera Selatan memiliki riwayat bepergian dari Jakarta dan Bogor. Begitupun kasus di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur, mereka sebagian besar berasal dari Jabodetabek.
Pemerintah semestinya secara tegas melarang mobilisasi dan harus memberikan bantuan langsung kepada mereka yang rentan.
Namun pemerintah juga harus mempertimbangkan hal seperti pemberdayaan pembatasan sosial dengan berbasis penguatan komunitas, terutama untuk masyarakat urban.
Solidaritas sesama warga akan membantu mereka yang dipaksa untuk tidak pulang ke kampung halaman tetap dapat bertahan dan memenuhi kebutuhan pokoknya.
Sumber : https://theconversation.com/