LKSP – Lembaga Kajian Strategis & Pembangunan

Mendukung Anda Dalam Formulasi Strategi Publik

PT. Lanskap Kajian Kebijakan Strategis

Proses Pembahasan RUU Cipta Kerja di DPR tak Representatif

Meski publik mengecam isi dan proses penyusunan Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terus bergerak cepat membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja sejak draf rancangan diserahkan oleh pemerintah pada 12 Februari 2020.

Badan Legislasi DPR (Baleg) yang ditunjuk membahas RUU kemudian dengan segera membentuk panitia kerja (Panja).

Di tengah pembahasan, pemerintah dan DPR kemudian sepakat menunda pembahasan klaster ketenagakerjaan dengan dalih untuk membuka ruang dialog lebih luas.

Pembahasan RUU ini melalui Panja dan penundaan pembahasan soal ketenagakerjaan menurut saya bermasalah.

Proses legislasi di DPR selain tunduk pada sejumlah undang-undang, juga diatur dalam tata tertib DPR. Instrumen ini yang mengatur rinci tata cara membahas undang-undang di DPR. Tata tertib ini penting untuk memastikan secara formal proses legislasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Berdasarkan tata tertib yang sudah diatur, ada permasalahan dalam pembahasan RUU Cipta Kerja


Baca juga: Mengapa Indonesia tidak membutuhkan Omnibus Law Cipta Kerja


1. Tidak mewakili semua

Untuk membahas RUU Cipta Kerja, Baleg membentuk Panja yang beranggotakan sebanyak 40 orang. Baleg sendiri total berjumlah 80 orang.

Padahal Peraturan DPR tentang Pembentukan Undang-Undang yang disahkan pada 2 April 2020 lalu mengatur bahwa pembahasan seluruh materi RUU harus dilakukan dalam rapat kerja oleh alat kelengkapan – dalam hal ini Baleg.

Apabila ada substansi yang tidak disetujui dalam Baleg, maka pembahasannya dapat dilanjutkan dalam rapat Panja.

Jadi seharusnya seluruh materi muatan RUU oleh seluruh anggota Baleg, bukan oleh Panja.

Pembahasan lewat Panja dapat mencederai konsep keterwakilan dalam pelaksanaan fungsi legislasi, termasuk fungsi pengawasan dan anggaran.

Gamblangnya, ada konstituen yang tidak terwakili karena ada 40 anggota Baleg tidak masuk sebagai anggota Panja.

Panja seharusnya hanya membahas materi tertentu dalam daftar inventaris masalah (DIM) yang belum disepakati pada tingkat Baleg. DIM adalah alat bantu dalam penyusunan peraturan yang berisi topik-topik pembahasan dan penjabaran masalah terkait.

Dalam membahas RUU Omnibus Cipta Kerja, pembahasan yang hanya dilakukan melalui Panja dapat menutup ruang dialog yang lebih luas diantara seluruh anggota Baleg yang seharusnya mengemban aspirasi konstituennya.

Ruang diskusi dan aspirasi dalam membahas materi RUU semakin terbatas dalam lingkup Panja. Situasi ini berpotensi munculnya ketertutupan proses dan minimnya informasi untuk publik.

Praktik semacam ini membuat DPR, termasuk dalam membahas RUU, semakin elitis dan eksklusif. Bahkan tak jarang rapat Panja dilakukan secara tertutup atau di lokasi yang sulit diakses oleh publik.

Praktik seperti ini jelas bertentangan dengan asas keterbukaan dan hak partisipasi masyarakat yang diatur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Praktik membahas materi RUU Cipta Kerja dan RUU lainnya yang langsung diserahkan ke Panja merupakan bentuk pelanggaran prosedur. Ini adalah pelanggaran terhadap aturan internal yang disusun sendiri oleh DPR.


Baca juga: Dua masalah hukum dalam penyusunan RUU Omnibus Law Cipta Lapangan Kerja


2. Ditunda, tapi…

Penundaan pembahasan klaster ketenagakerjaan juga menjadi persoalan karena isu-isu itu berisiko dibahas dalam waktu yang tersisa sedikit dan dikebut.

Klaster ketenagakerjaan bisa dengan mudah lolos tanpa ruang dialog dan tanpa akses informasi pada publik.

Ketua Baleg, Supratman Andi Agtas, menyampaikan bahwa klaster ketenagakerjaan akan dibahas setelah semua klaster yang lain selesai.

Tanpa ada perpanjangan jadwal maka klaster ini akan dibahas di sisa waktu. Legislasi di sisa waktu seringkali menimbulkan persoalan.

Tahun lalu, kita melihat bagaimana bagaimana DPR dan pemerintah di sisa waktu jabatannya mengesahkan revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Tuntutan menunda pengesahaan untuk membuka ruang partispasi dan transparansi tidak dihiraukan..

Kondisi yang sama bisa juga nanti terjadi pada RUU Cipta Kerja.

Nampaknya DPR dan pemerintah menyadari bahwa membahas klaster ini dengan lebih terbuka akan berisiko pada terbukanya kembali ruang negosiasi politik.

Ini yang bisa jadi mendorong mereka untuk menunda lalu menyederhanakan dan mempercepat pembahasan klaster ketenagakerjaan di sisa waktu.

Menunda pembahasan tidak akan berdampak pada penundaan pengesahan RUU Cipta Kerja. Walau pembahasan ditunda, klaster ketenagakerjaan akan tetap disahkan bersama dengan klaster lainnya dalam RUU Cipta Kerja.

Penundaan klaster ketenagakerjaan jelas bukan solusi untuk menjawab kritik publik atas materi RUU Cipta Kerja.

Materi yang bermasalah tidak hanya ada pada klaster ketenagakerjaan, tapi juga soal perlindungan lingkungan hidup, relasi pemerintahan daerah, dan pengabaian prinsip dasar hukum; misalnya, bahwa pengaturan tentang perubahan undang-undang dapat dilakukan dengan melalui pembentukan peraturan pemerintah.

Banyaknya persoalan dalam proses penyiapan maupun isi RUU Cipta Kerja, ditambah dengan kekeliruan prosedur pembahasan, mengindikasikan adanya persoalan besar dalam tata kelola legislasi baik di pemerintahan dan DPR.

Sudah seharusnya DPR menghentikan proses pembahasan RUU ini dan mengembalikannya kepada presiden untuk memperbaiki isi dengan proses penyiapan yang lebih transparan dan partisipatif.

Sumber :https://theconversation.com/

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *